Selama ini, jika mendengar tentang perpustakaan pastilah yang ada dalam pikiran kita adalah sebuah ruangan persegi panjang yang sedikit luas, penuh dengan rak-rak dan buku berdebu, pengap dan kurang cahaya. Bahkan di beberapa judul film bergenre horor negeri ini yang menjadikan perpustakaan adalah tempat mengubur mayat di dinding atau lantainya, semakin menambah kesan minus perpustakaan. Dan ada fungsi baru dari perpustakaan yang saya ketahui barusan: untuk diskusi—atau pacaran? entah.
Perpustakaan tidak bisa dipisahkan keberadaannya dalam dunia pendidikan. Apa jadinya jika perpustakaan itu tidak ada di sekolah? Pasti para orang tua harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli buku yang dibutuhkan anaknya, tapi karena ada perpustakaan maka murid sekolah cukup meminjam dan mengambil ilmu seperlunya untuk kemudian dikembalikan lagi.
Pandangan masyarakat selama ini mengenai perpustakaan seperti di atas bisa muncul karena faktor tingkat pendidikan. Perpustakaan di sekolah-sekolah dari jenjang SD, SMP, sampai SMA pasti berbeda. Apalagi untuk perpustakaan di tingkat universitas. Perpustakaan di SD, SMP, dan SMA kebanyakan masih konvensional yaitu perpustakaan yang bahan pustakanya berupa buku dan dilayani oleh pustakawan—yang biasanya dikenal galak—secara langsung. Coba saja bandingkan antara perpustakaan SMA dengan universitas, pasti akan sangat berbeda karena perpustakaan SMA pemustakanya hanya siswa sekolah itu, sedangkan perpustakaan universitas pemustakanya berasal dari berbagai universitas bahkan untuk kalangan umum.
Perpustakaan tidak bisa dipisahkan dari seorang pustakawan atau yang lebih dikenal sebagai penjaga perpustakaan. Paradigma masyarakat tentang tugas pustakawan selama ini hanya menjaga buku, melayani sirkulasi peminjaman dan pengembalian buku oleh pemustaka, dan menatanya kembali dalam rak. Benar memang tugas seorang pustakawan adalah seperti yang tersebut di atas, tapi tidak sesederhana itu.
Sebagian masyarakat beranggapan perpustakaan itu tidak begitu penting sehingga keberadaan pustakawan juga tidak dianggap penting. Tugas mereka hanya menjaga arus sirkulasi perpustakaan dan menatanya kembali di rak sesuai semula, siapa yang tidak bisa? Bahkan anak SMP pun bisa melakukannya. Profesi pustakwan itu belum diakui karena tidak adanya pendidikan profesi pustakawan, berbeda jauh dengan dokter. Sarjana-sarjana kedokteran itu harus menempuh pendidikan profesi dokter dulu sebelum secara langsung bekerja sebagai dokter. Lalu, mengapa pustakawan tidak ada pendidikan profesi?
Ironisnya, perpustakaan yang merupakan bagian dari lembaga pendidikan di Negara kita tidak dikelola oleh orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu perpustakaan. Di sekolah, perpustakaan dikelola bukan oleh seorang alumni ilmu perpustakaan, tapi hanya dikelola oleh guru atau pegawai TU sekolah. Kenapa bisa seperti itu? Karena di sekolahpun yang notabenenya lembaga pendidikan beranggapan bahwa perpustakaan tidak penting sehingga tidak perlulah menarik seorang pustakawan hanya untuk menjaga perpustakaan. Kabar terbaru terkait perpustakaan yang saya dengar adalah dimutasikannya walikota Jakarta Utara oleh Gubernur DKI sebagai kepala sebuah perpustakaan karena kinerjanya buruk. Apakah hanya sebagai tempat pembuangankah institusi ini?
Padahal perpustakaan adalah gudangnya ilmu karena disana banyak terdapat buku yang ‘katanya’ merupakan jendela dunia. Yang memperlakukan perpustakaan dan menganggap perpustakaan seperti itu justru orang-orang yang bisa dikatakan ‘pernah menempuh pendidikan tinggi’ dimana pasti ia pernah menggunakan jasa perpustakaan untuk mengerjakan skripsi, tesis, atau disertasinya.
Isnaeni Setyaningsih
Mahasiswi Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga
Nice post :)
BalasHapus