RENTANG tahun 2017 – 2018, media sosial ramai polemik. Selain memang
karena developer aplikasi media sosial harus rutin mengeluarkan update fitur
secara berkala, beberapa waktu lalu ada sekumpulan berita ‘hangat’. Facebook,
sasalh satu media sosial terbesar berencana mengeluarkan ‘project space’.
Layanan ini, memungkinkan pengguna berinteraksi ‘lebih nyata’di Facebook
melalui perangkat VR. Namun, naasnya Facebook juga tengah diterjang isu
mengenai bocornya data pribadi via insiden Cambridge Analytica. Instagram, yang
juga anak perusahaan facebook, tengah diuji militansi usernya. Algoritma
Instagram yang baru (based on engagement) dinilai ‘merugikan’ dan banyak user
mengajukan kembali pada algoritme lama (based on time). Di saat yang sama,
muncullah Vero, aplikasi pesaing instagram (dan Facebook) yang memiliki slogan
‘lebih realistis’.
Jagad
maya Indonesia juga tidak lepas dari hiruk pikuk pemblokiran situs atau
aplikasi yang disinyalir menghadirkan konten yang ‘tidak layak’. Sebut saja
Telegram sebagai contoh, atau WhatsApp dan Tumblr. Meski pada akhirnya memang
ada mediasi terhadap situs-aplikasi di atas dan akhirnya ada pencabutan atau
pending (terus dimediasikan agar pemblokirannya dihapus). Dari sekian banyak
pemblokiran tersebut, rasanya ada beberapa hal yang bisa kita jadikan renungan
bersama.
Pertama,
tingkat kepedulian masyarakat atas konten negative. Beberapa tindakan
pemblokiran yang dilakukan pemerintah (Kominfo) juga berdasarkan laporan dari
masyarakat. Semakin hari masyarakat kita sudah semakin paham dan peduli untuk
melakukan pengawasan terhadap situs atau aplikasi yang dinilai memuat konten
negatif.
Kedua,
terus menjaga sikap hati-hati dalam berinternet khususnya dalam bermedia
sosial. Para pengembang aplikasi dan penyedia informasi cenderung menghadirkan
fitur dan hal baru yang sesuai dengan minat masyarakat. Untuk sekian persen,
dapat diasumsikan bahwa media sosial dan internet mencerminkan seperti apa
masyarakat secara umum.
Epilog.
Kita patut terus bertanya apakah internet dan media sosial itu bebas nilai atau
bebas ‘diisi’ nilai? Arus informasi yang sangat pesat terus mengikis batas
dunia maya dan dunia nyata, menguatkan term ‘world citizens’. Informasi pribadi
adalah informasi publik, pun sebaliknya. Pada akhirnya, segala perubahan
tersebut selalu bergantung pada bagaimana kita merespons dan bersikap sesuai
pemahaman masing-masing.
(Akmal Faradise, pemerhati TI di Fakultas Adab dan Ilmu
Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)-g
Posting Komentar
0Komentar