Judul
Film : Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck
Sutradara : Sunil Soraya
Produser : Ram Soraya
Genre : Drama
Durasi : 2 jam 43 menit 15 detik
Tanggal
Liris : 19 Desember 2013
Pemain : Herjunot Ali, Pevita Pearce,
Reza Rahadian, Randy Danistha
Novel
Karangan: Hamka
Kisah ini bermula dari keinginan Zainudin (diperankan oleh Herjunot Ali) untuk
mengunjungi tanah kelahiran almarhum ayahnya di Batipuh sekaligus belajar
agama. Namun, warga Minangkabau melakukan diskriminasi pada para pendatang
seperti Zainudin. Di tengah kesedihan Zainudin di tanah Batipuh, bertemulah ia
dengan Hayati (diperankan
oleh Pevita Pearce), gadis berparas cantik dan pemegang
teguh ajaran agama. Zainudin jatuh hati pada Hayati dan sempat melayangkan
lamaran padanya.
Namun situasi dan kondisi yang tak
memungkinkan Zainudin berlama-lama di Batipuh, ia pindah ke Padang Panjang
dengan membawa selendang sutra putih Hayati sebagai tanda pengingat cinta
mereka.
Setahun berlalu, tetes demi tetes air mata
kerinduan akan Zainudin dan kepayahan Hayati menghadapi kondisi ia dipaksa
menikah. Hingga ia resmi menjadi Nyonya Aziz. Aziz (diperankan oleh Reza Rahadian)
yang suka main perempuan, judi, dan berlaku kasar. Di sisi lain Zainudin pun
bangkit dari tempat tidurnya atas nama keterpurukan dan sakit hati akan Hayati.
Hingga diabadikanlah ia dalam buku “Teroesir” dan menjadi bacaan sejuta umat
pada masa itu.
Mereduplah karir Aziz. Hutang berserakan,
rentenir beringas tak karuan. Karena malu dan sadar akan kesalahannya, Aziz
pergi untuk mencari pekerjaan dan menitipkan Hayati pada Zainudin. Dan beberapa
hari kemudian, datanglah surat cerai dan berita bahwa Aziz sudah tiada karena
bunuh diri sehingga jandalah Hayati. Berdasar pada egoisme dan sakit hati
Zainudin meminta Hayati agar kembali ke kampung halaman. Tanpa ia sadari itulah
pertemuan terakhirnya bersama Hayati. Berpisah bukan lagi antar dua pulau
melainkan dua dunia yang berbeda dengan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
tumpangan Hayati menuju tanah Minangkabau.
Tragedi kisah cinta Hayati dan Zainudin
hidup kembali dalam buku karangan Zainudin. Yang ditulis dengan sedemikian rupa
memiliki nilai moral yang sangat dalam tentang dihapuskannya perbedaan. Dan
kini rumah Zainudin dijadikan rumah yatim piatu ‘Hayati’.
Dalam film ini terdapat adegan yang
sedikit vulgar, sehingga tidak cocok menjadi tontonan anak-anak. Meski begitu,
film ini kental akan kebudayaan Indonesia yang dahulunya sangat tulen dan editan serta
pencahayaannya membuat film ini memang seperti film kuno.
(Resensator: Siti Nurkhalishah / @liisooo_)
Posting Komentar
0Komentar