Saat aku menulis, atap rumahku tepatnya di atas kamar berukuran 3×4 meter yang menjadi tempatku menumpahkan kelelahan, begitu berisik. Hujan itu turun begitu lebat tapi aku suka karena saat itulah aku bisa mengontrol diriku sendiri. Kepanikan, kecemasan, rasa takutku selalu hilang jika hujan turun seperti saat ini. Hari ini aku baru saja mengunjungi taman baca, membawa beberapa tumpuk buku, buku yang sedikit kuperbaiki sebelum halaman-halaman di dalamnya bertumpah ruah karena lem perekat itu memudar fungsinya. Kalian tahu aku selalu menyukai buku, aku suka melihat taman baca sederhana itu, aku suka mengunjunginya melihat buku-buku yang tertata rapi dan beberapa orang yang mulai asyik membukanya satu persatu.
Tapi hari itu sedikit berbeda, hari aku semakin menyadari bahwa tidak ada yang kebetulan di bumi ini. Semuanya memang diatur sedemikian rupa entah apakah kita mau mempercayainya atau tidak. Aku bertemu mereka lagi, dunia ini lucu bukan? Bagaimana mungkin orang yang pernah membuatku membayar mahal untuk harga diriku kini menjadi temanku, teman yang amat baik berbeda sekali dengan pandangan awalku pada mereka, seumur hidupku kupikir aku hanya akan memiliki satu teman, jadi aku sama sekali tak menduga hal itu. Hidupku yang awalnya terasa berat, kesedihan-kesedihan yang kupikul sedikit demi sedikit mulai ringan untuk dijalani karena aku punya mereka. Aku bisa tertawa semauku, menghabiskan waktu bersama setelah bekerja. Aneh bukan? Beberapa waktu kebelakang aku sempat menganggap dunia kejam tapi ternyata tak sekejam itu, dunia masih mau memberi ruang tawa kecil dalam duniaku sendiri, ya … melalui dua orang itu. Tapi kalian tahu sendiri bukan? Aku tak akan pernah melupakan sahabat yang selalu ada untukku selama ini hanya karena aku punya teman baru. Sahabat yang selalu memastikan bahwa aku baik-baik saja, dia yang selalu duduk menemaniku berjam-jam hanya untuk diam atau waktu aku memilih menangis seperti tidak memiliki kedewasaan sama sekali:D. Dia yang tak pernah bertanya “Ada apa?” Malah bahkan dia membelikanku es krim agar tangisku tidak terasa hambar.
Bahkan Aku ingin mengenalkan teman-teman baruku ini padanya, hingga suatu hari saat kesempatan itu hadir yang awalnya aku begitu senang tapi pada akhirnya tidak terjadi seperti yang kuharapkan.
“Jadi itu, maksudku mereka?”, tanyanya
Kedua temanku juga tampak tegang
“Kalian sudah saling kenal?”, tanyaku bingung
“Aku duluan”, katanya pergi meninggalkan kami bertiga
Aku tak tahu kenapa tapi aku ingin tetap berada di situ. Pertemuan yang janggal hingga dua hari setelahnya aku tak sengaja menemuinya, dia duduk di bangku halte
“Jiji”, sapaku ikut duduk tapi tak berani menoleh
“Ada apa?”, lanjutku bertanya setelah beberapa menit hening, akhirnya dia menoleh
“Bukankah Kau sendiri yang bilang jangan bertanya ‘kenapa atau ada apa?’ saat salah satu dari kita terlihat aneh”
“Pffft.... oh oke” jujur aku hampir tertawa melihat ekspresinya
“Kau pikir hanya berlaku untukmu?”, tanyanya
“Seperti itulah, kau terlihat cukup kuat untuk berlaku aneh semacam ini, biasanya hanya aku yang begitu.” Jawabku “Aku juga nggak akan tanya kenapa, tentang yang 2 hari lalu.” Lanjutku tersenyum
“Kau itu nggak cuman orang yang tertutup tapi juga orang yang tak punya keingintahuan, mungkin sekilas seperti tidak punya simpati dan empati.” Dia berkata seperti itu dengan nada marah.
Aku menatap ke jalanan di depan kami, berharap bus yang kami tunggu tidak akan datang selamanya.
“Siapa bilang? Aku punya kok”, kataku tenang
“Kau sekarang lagi sedih, ya? Mau aku belikan es krim?” tanyaku
“Mana yang paling kau pilih, barang lama bermakna atau baru, tapi yang baru itu yang selalu jadi impianmu selama ini?”
“Maksudmu?”
“Jawab saja!”
“ Dua-duanya lah” jawabku bingung
“ Dasar tamak!” Jiji bangkit, berjalan meninggalkan halte
“Hei!” aku berlari menarik lengannya
“Kau ga jadi naik Bus, mau kuantar pulang?” tanyaku, dia melirik ke bawah dengan tatapan dingin, buru-buru kulepas tanganku dari lengannya.
Kalian tau, apa yang aku alami di detik-detik seperti itu? Isi perutku seperti ditarik ke bawah, sampai jatuh. Awalnya aku berpikir dia akan berteriak atau semacamnya karena tatapan itu benar-benar menyeramkan. Tapi kemudian dia bilang, ”Belikan aku Kebab ukuran jumbo!”
“Aku akan belikan 2 untuk itu.” Jawabku tertawa
Kalian tahu, kan? Seberapa sukanya diriku ke orang ini? Jika suatu hari aku lupa bisakah aku minta ke kalian untuk mengingatkanku padanya?
Posting Komentar
0Komentar